Minggu, 21 Oktober 2012

  
"When we are no longer able to change a situation - we are challenged to change ourselves....".- (Viktor Frankl)
           

Secuil Tentang Logoterapi (Viktor Frankl)


"Berhubung skripis gua membahas tentang makna hidup, maka wajib hukumnya di dalam blog ini ada secuil tentang logoterapi-nya Viktor Frank. maaf untuk masalah daftar pustaka gua gak mau cantumin dengan alasan gua belum sarjana (masih proses) takut di copas.. jangan sampai deh ya... !! tapi, jika saudara-saudara sekalian butuh akan referensinya silahkan hubungi saya..." :)



Logoterapi
Logoterapi merupakan suatu pendekatan psikoterapi eksistensial yang diperkenalkan oleh Viktor Emile Frankl. Ia adalah seorang psikoterapi asal Wina, Austria. Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dan meninggal dengan tenang di kota kelahirannya pada tanggal 3 September 1997.  Ia adalah seorang keturunan yahudi diaspora yang pada saat Perang Dunia II berkecamuk di Eropa, turut berimbas kepada perlakuan Nazi (Nationalsozialismus) Jerman yang memusuhi dan mendiskriminasikan minoritas yahudi. Ketika itu minoritas yahudi termasuk Frankl dinistakan dan dijadikan tahanan dengan maksud untuk dipekerjakan secara paksa di beberapa kamp konsentrasi Nazi yang terkenal akan kekejaman dan kekejiannya, yaitu Auschwitz, Dacahau, Maidanek, dan Treblinka.
Frankl adalah salah satu dari sedikit tahanan yang dapat bertahan selama tahun-tahun masa penahannya di kamp konsentrasi, hingga tibanya pasukan sekutu untuk membebaskan mereka. Kedatangan pasukan sekutu tersebut juga turut menandai berakhirnya Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II usai dan bebas dari kamp konsentrasi, frankl kembali menyusun karya-karyanya yang hilang ketika di dalam kamp, serta mengembangkan konsep-konsep psikoterapi yang sebelumnya telah ia kembangkan. Pengalaman selama berada di dalam kamp konsentrasi dijadikannya landasan dan masukan untuk mengembangkan teori psikoterapinya. Dengan demikian, maka lahirlah aliran psikoterapi baru yang juga mazhab ketiga wina atau The Third Viennese School setelah Psikoanalisis dari Sigmund Freud dan Psikologi Individual dari Alfred Adler, yakni logoterapi.
Kata Logos dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi (therapy) adalah penyembuhan atau pengobatan. Dengan demikian, logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau psikoterapi yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama umat manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful of life) yang didambakannya (Bastaman, 2007). Logoterapi juga memberikan pemahaman bahwa seseorang mampu menemukan makna hidup pada setiap tahapan kehidupan, bahkan dalam keadaan menderita atau sekarat (Kimble dan Ellor, 2000). Logoterapi mencoba membantu manusia untuk mengembangkan dimensi rohani selain dimensi kejiwaan dan ragawi yang bersifat serba terbatas.
Lebih lanjut Kimble dan Ellor (2000), menyatakan bahwa tujuan atau tema sentral dari ajaran logoterapi adalah keinginan manusia untuk hidup bermakna. Keinginan manusia yang kuat untuk mendapatkan makna merupakan suatu hal yang paling fundamental guna menafsirkan keberadaannya di dunia. Jika keinginan akan makna ini tidak terpenuhi atau dengan kata lain terhambat, maka manusia akan mengalami ‘frustasi eksistensial’ (existensial frustation), yakni suatu frustasi dalam memenuhi keinginan kepada makna. Dalam jangka waktu panjang hal ini akan mengarah kepada suatu bentuk neurosis yang ditandai dari ketidakberdayaan, keputusasaan, dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa logoterapi mengakui adanya dimensi kerohanian pada diri manusia, dengan adanya dimensi tersebut, maka logoterapi menyadari bahwa di dalam keberadaan manusia terletak makna yang terkandung di dalam dirinya. Dengan demikian makna itu bersifat individual serta sudah menjadi keharusan manusia untuk menemukannya di dalam kehidupan (Misiak dan Sexton, 2005).
Menurut Frankl dan Lukas (dalam Marshall, 2009), ada tiga pilar dasar di dalam logoterapi, yakni:
1.      Meaning of life (makna hidup). Hal ini menjadi tema sentral di dalam ajaran logoterapi yang menyatakan bahwa hidup memiliki makna. Makna hidup layak untuk dijadikan tujuan dalam hidup, ia ada dan dapat ditemukan pada setiap situasi kehidupan, meskipun pada situasi yang penuh dengan penderitaan sekalipun. Oleh karena itu, sudah menjadi kebutuhan dan keharusan bagi manusia untuk menemukan makna hidupnya agar kehidupan yang dijalaninya menjadi berguna dan tidak sia-sia.
2.      Freedom of will (kebebasan berkehendak). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk berkehendak menentukan sikap-sikap apa yang hendak diambil dalam rangka menghadapi kondisi-kondisi lingkungan maupun diri sendiri. Dalam hal ini bukan lah kondisi tersebut yang dirubah melainkan sikap dalam menghadapinya. Kebebasan ini juga harus diimbangi dengan tanggungjawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan (Bastaman, 1996).
3.      Will to meaning (kehendak hidup bermakna). Sudah menjadi hasrat manusia untuk menjadikan hidupnya bermakna atau berguna bagi dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya bila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan  tidak bermakna (meaningless) (Bastaman, 2007).
  
Makna Hidup
Definisi Makna Hidup
       Bastaman (2007) mendefinisikan makna hidup sebagai sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Battista dan Almond (dalam Kennedy dan Kanthamani, 1995) juga memberikan definisi mengenai makna hidup, yakni sebagai sebuah komitmen seseorang untuk sebuah konsep, kerangka, atau seperangkat nilai-nilai yang membuat hidup dimengerti, menawarkan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidup, dan memberikan pemenuhan terhadap hidup. Kemudian definisi dari Langle, yakni sebuah pencapaian yang kompleks dari spirit manusia (potensial noetic) yang diperoleh melalui pergumulan atau pergulatan seseorang menghadapi tantangan dunia dengan keberadaannya (Sumanto, 2006). Dan yang terakhir Tasmara (2001) mengungkapkan bahwa makna hidup sebagai cara seseorang untuk mengisi kehidupannya dan memberikan gambaran menyeluruh yang menunjukkan arah dalam cara manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain dan alam sekitar. 
         Dari beberapa definisi tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah sebuah nilai-nilai dan konsep tentang sesuatu hal yang ideal, berharga, dan penting bagi manusia dalam kehidupannya, nilai-nilai dan konsep tersebut sebagai wujud atas perjuangan spirit manusia dalam menjawab keberadaannya di dunia, kedalaman nilai-nilai dan konsep itu secara otomatis akan mengarahkan manusia kepada suatu titik yang dapat membuat manusia menjadi optimis dalam menjalani hidup sehingga kehidupan yang dirasakannya akan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain maupun alam sekitar.
   
Sumber-Sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Kimble dan Ellor, 2000) menjabarkan bahwa ada beberapa sumber-sumber di dalam kehidupan yang dapat membuat kehidupan itu sendiri menjadi bermakna dengan cara merealisasikan tiga nilai-nilai, yang antara lain:
1.   Melalui apa yang telah diberikan kepada hidup (dalam hal nilai-nilai kerja kreatif). Salah satu sumber makna hidup ini secara eksplisit menjelaskan bahwa makna hidup dapat ditemukan oleh manusia apabila ia mampu merealisasikan nilai-nilai kreatif bagi hidupnya. Berkontribusi dengan karya-karya yang ia ciptakan dalam pelbagai bentuk dan kegiatan, seperti pengetahuan, kerja, seni, dan sebagainya. Arti diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan (materi) atau suatu ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang-orang lain yang merupakan suatu ungkapan individu (non-materi) (Schultz, 1991).
2.   Melalui sesuatu yang didapatkan dari dunia (dalam hal nilai-nilai pengalaman manusia). Manusia dapat memberikan makna kepada kehidupannya dengan cara merealisasikan nilai-nilai pengalamannya atau penghayatannya. Dalam hal ini menghayati dan meyakini suatu kebajikan, kebenaran, keindahan, dan cinta kasih. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan kehidupannya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan (Bastaman, 2007).
3.   Melalui sikap yang diambil saat menghadapi takdir yang tidak mampu untuk diubah. Menerima dengan sabar, lapang dada, dan tabah segala takdir atau penderitaan yang tidak dapat diubah lagi. Dalam hal ini bukan lah takdir atau situasinya yang diubah sebab manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengubah takdir, melainkan sikap manusia yang harus diubah dalam menghadapi situasi tersebut. Ia memiliki kebebasan untuk mengambil sikap apa yang pantas dan sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Selain tiga nilai yang telah dikemukakan oleh Viktor Frankl, ada satu nilai lain yang menurut Bastaman (2007) mampu membuat hidup menjadi bermakna, yaitu harapan. Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan pada kemudian hari. Harapan (sekalipun belum tentu menjadi kenyataan) memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Oleh karena harapan membawa angin optimisme kepada hidup, maka orang yang memiliki harapan akan selalu menunjukkan sikap positif terhadap masa depan, penuh percaya diri dan merasa optimis dapat meraih kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, orang yang tak memiliki harapan selalu dilanda kecemasan, keputusasaan, dan apatisme.



Karakteristik Makna Hidup
Bastaman (2007) mengemukakan sifat khusus dari makna hidup yakni:
a)  Makna hidup bersifat unik, pribadi dan temporer, yang berarti apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya bersifat khusus, berbeda, dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta berubah-ubah dari waktu ke waktu.
b)  Makna hidup bersifat spesifik dan nyata, dalam arti makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak-filosofis, tujuan-tujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba menakjubkan.
c)      Makna hidup bersifat sebagai pedoman dan arahan terhadap kegiatan-kegiatan manusia, sehingga makna hidup seakan-akan menantang manusia untuk memenuhinya. Ketika makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, manusia terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
  
Penderitaan dan Makna Hidup
Menurut Bastaman (1996) penderitaan merupakan perasan tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Lebih lanjut Bastaman (2007) menjelaskan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik keadaan yang menyenangkan maupun keadaan yang tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan seperti pada keadaan sakit, bersalah, kemiskinan, kenistaan, dan kematian. Pernyataan mengenai Makna dalam derita dan hikmah dibalik musibah, menunjukkan bahwa di dalam penderitaan sekalipun makna hidup mampu untuk ditemukan manusia.
Frankl  (dalam Bastaman, 1996) menyebutkan beberapa hal yang menimbulkan penderitaan sebagai the tragic triad of human existence, yakni tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia, antara lain sakit (pain), salah (guilt), dan maut (death).
a)   Sakit (pain) secara komprehensif dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan mental dan fisik yang kurang baik atau kegelisah mental dan fisik. Travelbee (dalam Bastaman, 1996) menjelaskan bahwa intensitas sakit berkisar dari mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan yang akut bahkan seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara umum atau lokal sebagai akibat dari korban kecelakaan, luka secara fisik atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari, melarikan diri, atau menghancurkan faktor penyebabnya.
b)   Salah (guilt) merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani (conscience). Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan dan tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.
c)   Maut (death) baik kematian sendiri maupun kematian orang lain, merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradaksol dalam arti di satu pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih menyangkut kematian sendiri.

Sabtu, 22 September 2012


   Suatu Kebajikan Alam

   Alam semesta adalah sebuah kreasi tuhan yang sangat indah dan maha sempurna dimana sudah menjadi kewajiban kita untuk selalu menjaganya dengan daya serta upaya yang ekstra. Lautan, pegunungan, hutan belantara, air terjun, matahari, planet, binatang dan lain sebagainya, juga manusia di dalamnya merupakan bagian dari alam semesta yang berkorelasi antara satu sama lain. Saling kait mengait memberikan manfaat terhadapnya. namun, perlu disimak bahwa di antara bagian-bagian alam semesta, manusia memiliki peran sentral dalam arti manusia memiliki kelebihan yang tidak dimiliki oleh bagian alam semesta lainnya, yakni akal dan tanggung jawab moral. Akal yang dimaksud, berarti manusia memiliki suatu pikiran untuk memanfaatkan alam semesta (mengambil sesuatu untuk digunakan untuk kepentingan pribadinya) serta mengolahnya demi kelangsungan hidup manusia. dengan catatan manusia berkewajiban mengambil sesuatu secara bijaksana karena manusia memiliki tanggung jawab moral yang juga tidak dimiliki oleh bagian-bagian alam lainnya. Kedua hal itu menunjukkan kepada kita secara implisit bahwa manusia tidak dibenarkan untuk 'membabi buta' mengekploitasi alam semesta.
   Bayangkan betapa nikmatnya jika pelbagai pemandangan tersebut yang kita jaga dinikmati secara langsung dengan cara terjun langsung kepada obyek pemandangan, tidak lewat televisi atau media tidak langsung lainnya. Hal itu yang membuat saya sebagai penulis ingin selalu menikmati alam dengan cara mendaki gunung-gunung yang juga menjadi bagian dari alam semesta. Sebab banyak pelajaran dan manfaat yang dapat dipetik darinya. Contoh kecil, mendaki gunung dapat membuat badan sehat, sebab gambaran ketika mendaki gunung bukan seperti yang dinyanyikan oleh anak-anak Taman Kanak-Kanak atau Sekolah Dasar saat melewati jalar raya Puncak "naik-naik ke puncak gunung tingi-tinggi sekali", tapi mendaki dengan berjalan kaki membawa barang-barang perbekalan kita yang menuntut adanya kekuatan fisik untuk mendakinya.
   Kemudian mendaki gunung dapat menempa ego kita, menghancurkan sifat individual kita, sebab lazimnya mendaki gunung dilakukan dengan beberapa orang yang terdiri dari 1-9 orang atau lebih, meskipun banyak juga yang dilakukan secara sendiri. Ketika kita mendaki tidak mungkin hanya membawa barang pribadi kita saja, namun terkadang kita juga membawa suatu barang yang memiliki aspek kebersamaan seperti tenda, minuman, dan makanan. kita rela berkorban membawa barang berat untuk digunakan oleh orang lain. Pada intinya mendaki gunung sarat akan pengorbanan, kesetian, kesabaran dan lain sebagainya. oleh karena itu saya menyarankan bagi saudara-saudara untuk mencoba hal ini, sebab begitu banyak manfaat yang dapat diambil. Tidak benar bahwa mendaki gunung adalah representasi dari Amor Fati, yakni cinta akan kematian atau bosan terhadap hidup yang mengarah kepada suatu tindakan yang mematikan, dengan melakukan hal-hal ekstrim.
   Henry Dunant, Bapak Pandu Dunia pernah berkata, "Tidak akan hilang pemimpin suatu bangsa bila pemudanya masih ada yang suka masuk hutan, berpetualang di alam bebas dan mendaki gunung". Pernyataan yang sarat akan makna mendalam dari kegiatan alam bebas. Bayangkan pemimpin-pemimpin dunia seperti Presiden Republik Rakyat China, Hu Jintao yang lahir jiwa kepemimpinannya dari keikut sertaan dalam pelbagai kegiatan-kegiatan alam bebas dan kepanduan. Tidak hanya itu, kegiatan di alam bebas seperti mendaki gunung juga dapat membuat rasa nasionalisme kita tumbuh, lantaran kita dapat mengetahui Indonesia secara langsung, bukan dari media-media yang kita serap dikala kita berada di kota. kembali saya mengutip pernyataan, yaitu pernyataan dari Soe Hok Gie, "Mencintai tanah air bukan hanya slogan dan hipokrit, mencintai tanah air dapat terwujud apabila kita mengenal setiap lekuk tubuh Pertiwi dengan cara mengenal tiap warga negara dan wilayahnya, maka untuk itulah kami mendaki". Sudah jelas bahwa alam memberikan kita banyak sekali pelajaran, yang tidak mungkin saya torehkan satu persatu, silahkan anda merenung barang sejenak mengenai pelajaran apa yang telah diberikan alam kepada saudara. dan yang terakhir izinkan saya mengutip suatu petuah seorang Indian kepada anaknya, kutipan yang disadur dari "Going to The Mountain".

Anakku
Tak seorang pun akan menolongmu di dunia ini.
Maka jelajahilah puncak-puncak gunung itu, dan kembalilah.
Hanya itu yang akan dapat membuatmu perkasa.

Anakku...
Ketahuilah bahwa tak seorangpun di dunia ini yang dapat kau sebut sebagai sahabat sejati...
Tidak juga ayahmu, ibumu, bahkan saudara-saudaramu.
Tanganmu adalah sahabatmu...
Kakimu adalah sahabatmu...
Rambutmu adalah sahabatmu...
Pandanganmu adalah sahabatmu...
Suatu kali kau harus menghadapi seseorang yang menganggapmu musuh.
Saat kau berhadapan dengan mereka, kau hanya perlu merasa berani berada tepat di depan wajahnya

Kau harus siap bahwa mungkin ia akan merasa sakit atau menang.
Saat itu kau harus percayalah bahwa sesungguhnya keberanian bukanlah masalah menang atau kalah.
Suatu kali pula kau akan berada di tengah mereka yang menderita.
Jangan pernah terlambat untuk membantu mereka melebihi dari segala kemampuan yang kau miliki
Kita tak pernah tau, bahwa mungkin saja kemanapun kau pergi, alam akan mendengar mereka bercerita sebuah kisah tentang dirimu.

Oleh karena itu, aku berkata padamu....

"Pilihlah jalan terjal mendaki itu, tapi bukan jalan yang nyaman ini..."


Jumat, 17 Agustus 2012

Sebuah Bencana!!

   Semester 6 adalah sebuah masa di mana mahasiswa sudah harus mempersiapkan masalah apa yang akan dijadikan tema di dalam karya ilmiahnya yakni skripsi. sejak saat itu pula memburu tema-tema yang jarang diangkat oleh mahasiswa-mahasiswa lain untuk dijadikan tema skripsinya menjadi suatu keharusan, dan yang terpenting tema itu kita sukai dan kuasai. berhubung saya suka sejarah maka saya memutuskan mencari tema yang berkaitan dengan sejarah dan menghubungkannya dengan variabel-variabel psikologi sebagai disiplin keilmuan yang sedang saya geluti. berburu ke dua tema tersebut segera saya lakoni demi mendapatkan sebuah judul skripsi. untuk sejarah saya mengangkat para mantan pejuang (veteran) Timor Timur atau yang biasa disebut veteran seroja, lalu saya kaitkan dengan variabel makna hidup teori Viktor Frankl. setelah semua itu selesai dan judul saya diterima oleh dosen, maka tugas selanjutnya ialah menyusun kata demi kata serta mencari pelbagai referensi yang akan digunakan sebagai pendukung fenomena atau terori.
    Pelbagai referensi mengenai perang Timor Timur serta para veteran seroja yang saya kuliti dan telaah satu-satu dari buku-buku yang terkait. proses tersebut membuat perasaan saya sedih mengingat persoalan tersebut menyangkut kemanusiaan, apalagi saat berkunjung ke wisma seroja untuk mengambil data skripsi. wisma seroja yang menjadi tempat tinggal bagi para veteran seroja, warakauri (janda veteran), dan yatim-piatu anak-anak veteran. kembali kepada masalah perang Timor Timur, kompleksitas masalah dan intrik-intrik politik yang ada di dalamnya membuat aktor-aktor kecil menjadi korban, dan yang paling anyar adalah masalah lepasnya Timor-timur dari Indonesia yang menjadi pukulan telak veteran seroja. mereka dahulu berjuang mati-matian di sana, jiwa raga pun mereka korbankan demi berintegrasinya Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. pengorbanan dan perjuangan veteran seroja terbukti dari banyaknya jumlah mereka yang mengalami cacat fisik atau meninggal dunia. namun pada akhirnya daerah yang dulu mereka perjuangkan lepas begitu saja. pedih, perih, marah, sedih, kecewa dan lain sebagainya berkombinasi menjadi satu, itulah perasaan yang dirasakan mereka sewaktu menerima kenyataan pahit tersebut.
   Akibat mempelajari Timor Timur dan perjuangan dari pejuangnya, membuat hati saya risih dan bergejolak untuk segera mungkin melakukan tindakan konkrit untuk membantu para veteran seroja. setelah saya berkonsultasi dan berdikusi dengan teman-teman seputar persoalaan tersebut, keluarlah ide untuk melakukan kegiatan amal sosial maka diputuskan untuk melakukan acara bakti sosial untuk para penghuni wisma seroja yang di dalamnya terdapat veteran seroja, warakauri, dan yatim-piatu anak-anak veteran seroja. dengan tujuan untuk membantu dan menghibur para veteran seroja yang kisahnya hampir dilupakan anak bangsa ini. kemudian untuk memuluskan acara kami, maka hal yang paling utama  dipikirkan bersama adalah masalah dana, pelbagai cara untuk mencari dana sudah didapat yang salah satu caranya adalah berjualan bunga di tempat umum dengan tujuan keuntungan yang didapat akan disalurkan untuk acara bakti sosial, bunga tersebut kami jual dengan harga Rp. 20.000. setelah masalah suber dana sudah dapat diatasi, segera kelompok pun dibuat dengan tugas menjual bunga dan tujuan dari pembagian kelompok agar lebih efisen dalam arti tidak terkonsentrasi pada satu wilayah saja, lebih menyebar untuk mencari wilayah mana yang memiliki pengunjung paling banyak. 
    Saya masuk ke dalam kelompok yang mana kelompok tersebut terdiri dari empat orang, masing-masing terdiri dari satu wanita dan empat pria. target penjualan saya adalah di tempat makan yang terletak di Jakarta Selatan. proses penjualan pun berlangsung, namun penjualan tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi kami bahwa banyak orang yang akan bersimpati terhadap kami lau membeli bunga. kenyataanya sedikit sekali orang yang membeli bunga kami meskipun kami telah menerangkan kepada mereka bahwa keuntungan dari hasil penjualan bunga akan disumbangkan untuk acara bakti sosial kami. bahkan ketika kami mempromosikan bungan dengan body language dan mimik muka yang serius kepada sekelompok pengunjung wanita yang sedang asik makan mengunyah potongan ayamnya dan berkongko bersama teman-teman wanita dan prianya. saya ingat bahwa penampilan dari mereka sangat baik, apalagi ditambah dengan banyaknya gadget yang mereka miliki menegaskan kepada kami bahwa mereka adalah orang-orang yang secara ekonomi berada. kemudian, keseriusan kami disambut dengan perkataan yang sedikit meledek, mereka mengatakan kepada kami "kalau bunga bank ada gak mas?saya maunya bunga itu! (sambil tertawa lepas)". saya langsung merespon dengan mengatakan "MERDEKA!" lalu keluar.
   Silahkan anda menilai peristiwa di atas dengan persepektif penilaian anda masing-masing, akan tetapi dengan catatan penilaian tersebut bebas dari prasangka-prasangka. renungkan dan bayangkanlah sejenak bagaimana perasaan anda jika anda sebagai pejuang mengetahui anak bangsa yang dahulu berjuang mati-matian agar anak bangsa tersebut hidup layak, berkata demikian layaknya ucapan di atas. sudah pasti penyesalan, marah, dan kecewa yang anda rasakan. bagaimana bangsa ini bisa besar jika anak bangsa ini tidak menaruh hormat kepada para pahlawannya. saya jadi teringat kata-kata yang diucapkan Founding Father, Soekarno, bahwa "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya". perkataan yang sangat inspiratif, sebab jika anak-anak bangsa ini mengingat dan berkaca akan semangat yang dimiliki oleh para pejuang dalam berjuang memanggul senjata turun langsung ke dalam palagan demi mereka, yang mungkin para pejuang tidak mengetahui mereka, siapa mereka. maka muncul lah semangat anak bangsa ini untuk terus memajukan negara dengan cara apapun serta muncul kesadaran untuk tidak akan berani untuk sedikit pun mengkhiyanati.
 
"Sebuah Bencana"   
  Peristiwa di atas jelas menandakan bahwa wabah individualitas dan antipati masyarakat sudah mencapai titik kulminasi. suatu fenomena yang lazim terjadi mengingat zaman modern yang penuh dengan keegoisan dan materi menjadi tolak ukur di setiap aspek kehidupan. dalam kehidupan sehari-hari kita banyak menyaksikan bahwa manusia-manusia Indonesia semakin serakah terbukti dari banyaknya kasus korupsi yang membelit negri ini. kemudian, kita juga saksikan bahwa masyarakat semakin gila bekerja demi mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya tanpa mempedulikan orang-orang disekelilingnya. tolong menolong pun juga menjadi barang langka yang sulit dijumpai, meskipun ada hal tersebut biasanya berorientasi kepada manfaat apa yang bisa diambil dari tindakan menolongnya tersebut, yang tak lain adalah manfaat materi.
   Para intelektual pun banyak yang menaruh simpati kepada masalah tersebut dengan melakukan penelitian dan kajian yang mendalam. seperti yang kita ketahui bahwa teori-teori sosial seperti teori kritis yang mengkritik masalah manusia dan masyarakat dalam pigura kritik terhadap kapitalisme dan ideologi-ideologi kontemporer turut andil dalam mengkajinya. salah satu tokoh dalam teori kritis yakni Erich Fromm yang juga seorang psikoanalisa, Erich Fromm dalam kritiknya menyatakan bahwa masyarakat kapitalis modern ini telah menciptakan konsep individualis dalam diri manusia, dan mengkonstruksinya dengan nilai-nilai inisiatif, keangkuhan diri, agresivitas, serta memburu kekuasaan dan kekayaan. lebih jauh menurutnya, manusia telah mengembangkan kebencian terhadap dirinya sendiri, perasaan tidak berdaya dan teralienasi, lantas mencari pemuasan melalui penumpukan kekayaan serta dominasi terhadap sesamanya (Subono, 2010, hal: 5).
   Uraian singkat dari Fromm menyadarkan saya bahwa hal yang saya alami lazim terjadi di zaman kapitalis modern seperti sekarang ini. manusia semakin apati, agresif, serakah dan sebagainya, disadari atau tidak pelbagai sifat tersebut kian mendominasi negri kita. bahayanya jika sifat-sifat tersebut mengakar dan menggeser kebudayaan kita yang mana dahulu kita terkenal akan manusia-manusianya yang suka menolong, ramah, serta murah senyum. jangan sampai kebaikan itu terkalahkan oleh penyakit-penyakit sosial tersebut, kita harus memberanikan diri agar tidak terbenam ke dalamnya. semoga peristiwa yang saya alami menjadi sinyal untuk bangsa kita agar menaruh kewaspadaan terhadapnya dan kembali kepada kebaikan-kebaikan yang telah diajarkan nenek moyang kita dahulu agar kita terhindar dari sebuh bencana kemanusian yang siap menyerang tanpa tedeng aling!