"When we are no longer able to change a situation - we are challenged to change ourselves....".- (Viktor Frankl)
Secuil Tentang Logoterapi (Viktor Frankl)
"Berhubung skripis gua membahas tentang makna hidup, maka wajib hukumnya di dalam blog ini ada secuil tentang logoterapi-nya Viktor Frank. maaf untuk masalah daftar pustaka gua gak mau cantumin dengan alasan gua belum sarjana (masih proses) takut di copas.. jangan sampai deh ya... !! tapi, jika saudara-saudara sekalian butuh akan referensinya silahkan hubungi saya..." :)
Logoterapi
Logoterapi merupakan
suatu pendekatan psikoterapi eksistensial yang diperkenalkan oleh Viktor Emile
Frankl. Ia adalah seorang psikoterapi asal Wina, Austria. Frankl dilahirkan
pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dan meninggal dengan tenang di kota
kelahirannya pada tanggal 3 September 1997.
Ia adalah seorang keturunan yahudi diaspora yang pada saat Perang Dunia
II berkecamuk di Eropa, turut berimbas kepada perlakuan Nazi (Nationalsozialismus) Jerman yang
memusuhi dan mendiskriminasikan minoritas yahudi. Ketika itu minoritas yahudi termasuk Frankl
dinistakan dan dijadikan tahanan dengan maksud untuk dipekerjakan secara paksa
di beberapa kamp konsentrasi Nazi yang terkenal akan kekejaman dan kekejiannya,
yaitu Auschwitz, Dacahau, Maidanek, dan Treblinka.
Frankl adalah salah satu dari sedikit tahanan
yang dapat bertahan selama tahun-tahun masa penahannya di kamp konsentrasi,
hingga tibanya pasukan sekutu untuk membebaskan mereka. Kedatangan pasukan
sekutu tersebut juga turut menandai berakhirnya Perang Dunia II. Setelah Perang
Dunia II usai dan bebas dari kamp konsentrasi, frankl kembali menyusun
karya-karyanya yang hilang ketika di dalam kamp, serta mengembangkan konsep-konsep
psikoterapi yang sebelumnya telah ia kembangkan. Pengalaman selama berada di
dalam kamp konsentrasi dijadikannya landasan dan masukan untuk mengembangkan
teori psikoterapinya. Dengan demikian, maka lahirlah aliran psikoterapi baru
yang juga mazhab ketiga wina atau The Third Viennese School setelah
Psikoanalisis dari Sigmund Freud dan Psikologi Individual dari Alfred Adler,
yakni logoterapi.
Kata Logos dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning)
dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi (therapy) adalah
penyembuhan atau pengobatan. Dengan demikian, logoterapi secara umum dapat
digambarkan sebagai corak psikologi atau psikoterapi yang mengakui adanya
dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta
beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk
hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama umat
manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful of life)
yang didambakannya (Bastaman, 2007). Logoterapi juga memberikan pemahaman bahwa
seseorang mampu menemukan makna hidup pada setiap tahapan kehidupan, bahkan
dalam keadaan menderita atau sekarat (Kimble dan Ellor, 2000). Logoterapi
mencoba membantu manusia untuk mengembangkan dimensi rohani selain dimensi
kejiwaan dan ragawi yang bersifat serba terbatas.
Lebih lanjut Kimble dan Ellor (2000),
menyatakan bahwa tujuan atau tema sentral dari ajaran logoterapi adalah
keinginan manusia untuk hidup bermakna. Keinginan manusia yang kuat untuk
mendapatkan makna merupakan suatu hal yang paling fundamental guna menafsirkan
keberadaannya di dunia. Jika keinginan akan makna ini tidak terpenuhi atau dengan
kata lain terhambat, maka manusia akan mengalami ‘frustasi eksistensial’ (existensial
frustation), yakni suatu frustasi dalam memenuhi keinginan kepada makna. Dalam
jangka waktu panjang hal ini akan mengarah kepada suatu bentuk neurosis yang
ditandai dari ketidakberdayaan, keputusasaan, dan keinginan untuk mengakhiri
hidup. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa logoterapi mengakui adanya
dimensi kerohanian pada diri manusia, dengan adanya dimensi tersebut, maka
logoterapi menyadari bahwa di dalam keberadaan manusia terletak makna yang
terkandung di dalam dirinya. Dengan demikian makna itu bersifat individual
serta sudah menjadi keharusan manusia untuk menemukannya di dalam kehidupan
(Misiak dan Sexton, 2005).
Menurut Frankl dan Lukas (dalam Marshall,
2009), ada tiga pilar dasar di dalam logoterapi, yakni:
1.
Meaning
of life
(makna hidup). Hal ini menjadi tema sentral di dalam ajaran logoterapi yang
menyatakan bahwa hidup memiliki makna. Makna hidup layak untuk dijadikan tujuan
dalam hidup, ia ada dan dapat ditemukan pada setiap situasi kehidupan, meskipun
pada situasi yang penuh dengan penderitaan sekalipun. Oleh karena itu, sudah
menjadi kebutuhan dan keharusan bagi manusia untuk menemukan makna hidupnya
agar kehidupan yang dijalaninya menjadi berguna dan tidak sia-sia.
2.
Freedom
of will
(kebebasan berkehendak). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk
berkehendak menentukan sikap-sikap apa yang hendak diambil dalam rangka
menghadapi kondisi-kondisi lingkungan maupun diri sendiri. Dalam hal ini bukan
lah kondisi tersebut yang dirubah melainkan sikap dalam menghadapinya.
Kebebasan ini juga harus diimbangi dengan tanggungjawab agar tidak berkembang
menjadi kesewenangan (Bastaman, 1996).
3.
Will to
meaning
(kehendak hidup bermakna). Sudah menjadi hasrat manusia untuk menjadikan
hidupnya bermakna atau berguna bagi dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan
sekitar. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna,
berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya bila tidak terpenuhi akan
menyebabkan kehidupan dirasakan tidak
bermakna (meaningless) (Bastaman, 2007).
Makna
Hidup
Definisi Makna Hidup
Bastaman (2007) mendefinisikan makna hidup
sebagai sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai
khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Battista
dan Almond (dalam Kennedy dan Kanthamani, 1995) juga memberikan definisi
mengenai makna hidup, yakni sebagai sebuah komitmen seseorang
untuk sebuah konsep, kerangka,
atau seperangkat nilai-nilai yang
membuat hidup dimengerti, menawarkan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidup, dan memberikan pemenuhan terhadap hidup. Kemudian definisi
dari Langle, yakni sebuah pencapaian yang kompleks dari spirit manusia (potensial noetic) yang diperoleh melalui
pergumulan atau pergulatan seseorang menghadapi tantangan dunia dengan
keberadaannya (Sumanto, 2006). Dan yang terakhir Tasmara (2001) mengungkapkan
bahwa makna hidup sebagai cara seseorang untuk mengisi kehidupannya dan
memberikan gambaran menyeluruh yang menunjukkan arah dalam cara manusia
berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain dan alam sekitar.
Dari beberapa definisi
tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah sebuah nilai-nilai
dan konsep tentang sesuatu hal yang ideal, berharga, dan penting bagi manusia
dalam kehidupannya, nilai-nilai dan konsep tersebut sebagai wujud atas
perjuangan spirit manusia dalam menjawab keberadaannya di dunia, kedalaman
nilai-nilai dan konsep itu secara otomatis akan mengarahkan manusia kepada
suatu titik yang dapat membuat manusia menjadi optimis dalam menjalani hidup
sehingga kehidupan yang dirasakannya akan bermanfaat bagi diri sendiri, orang
lain maupun alam sekitar.
Sumber-Sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Kimble dan Ellor, 2000)
menjabarkan bahwa ada beberapa sumber-sumber di dalam kehidupan yang dapat
membuat kehidupan itu sendiri menjadi bermakna dengan cara merealisasikan tiga
nilai-nilai, yang antara lain:
1. Melalui apa yang telah diberikan kepada hidup (dalam hal nilai-nilai
kerja kreatif). Salah satu sumber makna hidup ini secara eksplisit menjelaskan
bahwa makna hidup dapat ditemukan oleh manusia apabila ia mampu merealisasikan
nilai-nilai kreatif bagi hidupnya. Berkontribusi dengan karya-karya yang ia
ciptakan dalam pelbagai bentuk dan kegiatan, seperti pengetahuan, kerja, seni,
dan sebagainya. Arti diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang
menciptakan suatu hasil yang kelihatan (materi) atau suatu ide yang tidak
kelihatan atau dengan melayani orang-orang lain yang merupakan suatu ungkapan
individu (non-materi) (Schultz, 1991).
2. Melalui sesuatu yang didapatkan dari dunia (dalam hal nilai-nilai
pengalaman manusia). Manusia dapat memberikan makna kepada kehidupannya dengan
cara merealisasikan nilai-nilai pengalamannya atau penghayatannya. Dalam hal
ini menghayati dan meyakini suatu kebajikan, kebenaran, keindahan, dan cinta
kasih. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti
dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan
kehidupannya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan (Bastaman, 2007).
3. Melalui sikap yang diambil saat menghadapi takdir yang tidak mampu
untuk diubah. Menerima dengan sabar, lapang dada, dan tabah segala takdir atau
penderitaan yang tidak dapat diubah lagi. Dalam hal ini bukan lah takdir atau
situasinya yang diubah sebab manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengubah
takdir, melainkan sikap manusia yang harus diubah dalam menghadapi situasi
tersebut. Ia memiliki kebebasan untuk mengambil sikap apa yang pantas dan
sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Selain tiga nilai yang telah dikemukakan oleh Viktor
Frankl, ada satu nilai lain yang menurut Bastaman (2007) mampu membuat hidup
menjadi bermakna, yaitu harapan. Harapan adalah keyakinan akan terjadinya
hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan pada kemudian hari. Harapan
(sekalipun belum tentu menjadi kenyataan) memberikan sebuah peluang dan solusi
serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan
optimisme. Oleh karena harapan membawa angin optimisme kepada hidup, maka orang
yang memiliki harapan akan selalu menunjukkan sikap positif terhadap masa
depan, penuh percaya diri dan merasa optimis dapat meraih kehidupan yang lebih
baik. Sebaliknya, orang yang tak memiliki harapan selalu dilanda kecemasan,
keputusasaan, dan apatisme.
Karakteristik Makna Hidup
Bastaman (2007) mengemukakan sifat khusus dari
makna hidup yakni:
a) Makna hidup bersifat unik, pribadi dan temporer, yang berarti apa yang
dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Dalam
hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya bersifat
khusus, berbeda, dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta berubah-ubah
dari waktu ke waktu.
b) Makna hidup bersifat spesifik dan nyata, dalam arti makna hidup
benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta
tidak selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak-filosofis,
tujuan-tujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba
menakjubkan.
c)
Makna hidup bersifat sebagai pedoman dan arahan terhadap
kegiatan-kegiatan manusia, sehingga makna hidup seakan-akan menantang manusia
untuk memenuhinya. Ketika makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan,
manusia terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan
pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
Penderitaan dan Makna Hidup
Menurut Bastaman (1996) penderitaan merupakan perasan
tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan
kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Lebih lanjut Bastaman (2007)
menjelaskan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik
keadaan yang menyenangkan maupun keadaan yang tidak menyenangkan, keadaan
bahagia, dan penderitaan seperti pada keadaan sakit, bersalah, kemiskinan, kenistaan,
dan kematian. Pernyataan mengenai Makna dalam derita dan hikmah dibalik
musibah, menunjukkan bahwa di dalam penderitaan sekalipun makna hidup mampu
untuk ditemukan manusia.
Frankl (dalam Bastaman, 1996) menyebutkan beberapa
hal yang menimbulkan penderitaan sebagai the
tragic triad of human existence, yakni tiga ragam penderitaan yang sering
ditemukan dalam kehidupan manusia, antara lain sakit (pain), salah (guilt), dan
maut (death).
a) Sakit (pain) secara komprehensif dapat dirumuskan sebagai suatu
keadaan mental dan fisik yang kurang baik atau kegelisah mental dan fisik.
Travelbee (dalam Bastaman, 1996) menjelaskan bahwa intensitas sakit berkisar dari
mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan
yang akut bahkan seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan
secara umum atau lokal sebagai akibat dari korban kecelakaan, luka secara fisik
atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari, melarikan
diri, atau menghancurkan faktor penyebabnya.
b) Salah (guilt) merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan
dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani (conscience). Hati nurani
adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan dan
tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.
c) Maut (death) baik kematian sendiri maupun kematian orang lain,
merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya.
Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradaksol dalam arti di satu
pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang
sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih
menyangkut kematian sendiri.