Minggu, 21 Oktober 2012

  
"When we are no longer able to change a situation - we are challenged to change ourselves....".- (Viktor Frankl)
           

Secuil Tentang Logoterapi (Viktor Frankl)


"Berhubung skripis gua membahas tentang makna hidup, maka wajib hukumnya di dalam blog ini ada secuil tentang logoterapi-nya Viktor Frank. maaf untuk masalah daftar pustaka gua gak mau cantumin dengan alasan gua belum sarjana (masih proses) takut di copas.. jangan sampai deh ya... !! tapi, jika saudara-saudara sekalian butuh akan referensinya silahkan hubungi saya..." :)



Logoterapi
Logoterapi merupakan suatu pendekatan psikoterapi eksistensial yang diperkenalkan oleh Viktor Emile Frankl. Ia adalah seorang psikoterapi asal Wina, Austria. Frankl dilahirkan pada tanggal 26 Maret 1905 di Wina dan meninggal dengan tenang di kota kelahirannya pada tanggal 3 September 1997.  Ia adalah seorang keturunan yahudi diaspora yang pada saat Perang Dunia II berkecamuk di Eropa, turut berimbas kepada perlakuan Nazi (Nationalsozialismus) Jerman yang memusuhi dan mendiskriminasikan minoritas yahudi. Ketika itu minoritas yahudi termasuk Frankl dinistakan dan dijadikan tahanan dengan maksud untuk dipekerjakan secara paksa di beberapa kamp konsentrasi Nazi yang terkenal akan kekejaman dan kekejiannya, yaitu Auschwitz, Dacahau, Maidanek, dan Treblinka.
Frankl adalah salah satu dari sedikit tahanan yang dapat bertahan selama tahun-tahun masa penahannya di kamp konsentrasi, hingga tibanya pasukan sekutu untuk membebaskan mereka. Kedatangan pasukan sekutu tersebut juga turut menandai berakhirnya Perang Dunia II. Setelah Perang Dunia II usai dan bebas dari kamp konsentrasi, frankl kembali menyusun karya-karyanya yang hilang ketika di dalam kamp, serta mengembangkan konsep-konsep psikoterapi yang sebelumnya telah ia kembangkan. Pengalaman selama berada di dalam kamp konsentrasi dijadikannya landasan dan masukan untuk mengembangkan teori psikoterapinya. Dengan demikian, maka lahirlah aliran psikoterapi baru yang juga mazhab ketiga wina atau The Third Viennese School setelah Psikoanalisis dari Sigmund Freud dan Psikologi Individual dari Alfred Adler, yakni logoterapi.
Kata Logos dalam bahasa Yunani berarti makna (meaning) dan juga rohani (spirituality), sedangkan terapi (therapy) adalah penyembuhan atau pengobatan. Dengan demikian, logoterapi secara umum dapat digambarkan sebagai corak psikologi atau psikoterapi yang mengakui adanya dimensi kerohanian pada manusia di samping dimensi ragawi dan kejiwaan, serta beranggapan bahwa makna hidup (the meaning of life) dan hasrat untuk hidup bermakna (the will to meaning) merupakan motivasi utama umat manusia guna meraih taraf kehidupan bermakna (the meaningful of life) yang didambakannya (Bastaman, 2007). Logoterapi juga memberikan pemahaman bahwa seseorang mampu menemukan makna hidup pada setiap tahapan kehidupan, bahkan dalam keadaan menderita atau sekarat (Kimble dan Ellor, 2000). Logoterapi mencoba membantu manusia untuk mengembangkan dimensi rohani selain dimensi kejiwaan dan ragawi yang bersifat serba terbatas.
Lebih lanjut Kimble dan Ellor (2000), menyatakan bahwa tujuan atau tema sentral dari ajaran logoterapi adalah keinginan manusia untuk hidup bermakna. Keinginan manusia yang kuat untuk mendapatkan makna merupakan suatu hal yang paling fundamental guna menafsirkan keberadaannya di dunia. Jika keinginan akan makna ini tidak terpenuhi atau dengan kata lain terhambat, maka manusia akan mengalami ‘frustasi eksistensial’ (existensial frustation), yakni suatu frustasi dalam memenuhi keinginan kepada makna. Dalam jangka waktu panjang hal ini akan mengarah kepada suatu bentuk neurosis yang ditandai dari ketidakberdayaan, keputusasaan, dan keinginan untuk mengakhiri hidup. Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa logoterapi mengakui adanya dimensi kerohanian pada diri manusia, dengan adanya dimensi tersebut, maka logoterapi menyadari bahwa di dalam keberadaan manusia terletak makna yang terkandung di dalam dirinya. Dengan demikian makna itu bersifat individual serta sudah menjadi keharusan manusia untuk menemukannya di dalam kehidupan (Misiak dan Sexton, 2005).
Menurut Frankl dan Lukas (dalam Marshall, 2009), ada tiga pilar dasar di dalam logoterapi, yakni:
1.      Meaning of life (makna hidup). Hal ini menjadi tema sentral di dalam ajaran logoterapi yang menyatakan bahwa hidup memiliki makna. Makna hidup layak untuk dijadikan tujuan dalam hidup, ia ada dan dapat ditemukan pada setiap situasi kehidupan, meskipun pada situasi yang penuh dengan penderitaan sekalipun. Oleh karena itu, sudah menjadi kebutuhan dan keharusan bagi manusia untuk menemukan makna hidupnya agar kehidupan yang dijalaninya menjadi berguna dan tidak sia-sia.
2.      Freedom of will (kebebasan berkehendak). Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk berkehendak menentukan sikap-sikap apa yang hendak diambil dalam rangka menghadapi kondisi-kondisi lingkungan maupun diri sendiri. Dalam hal ini bukan lah kondisi tersebut yang dirubah melainkan sikap dalam menghadapinya. Kebebasan ini juga harus diimbangi dengan tanggungjawab agar tidak berkembang menjadi kesewenangan (Bastaman, 1996).
3.      Will to meaning (kehendak hidup bermakna). Sudah menjadi hasrat manusia untuk menjadikan hidupnya bermakna atau berguna bagi dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan sekitar. Bila hasrat ini dapat dipenuhi, kehidupan akan dirasakan berguna, berharga, dan berarti (meaningful). Sebaliknya bila tidak terpenuhi akan menyebabkan kehidupan dirasakan  tidak bermakna (meaningless) (Bastaman, 2007).
  
Makna Hidup
Definisi Makna Hidup
       Bastaman (2007) mendefinisikan makna hidup sebagai sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang dan layak dijadikan tujuan dalam kehidupan. Battista dan Almond (dalam Kennedy dan Kanthamani, 1995) juga memberikan definisi mengenai makna hidup, yakni sebagai sebuah komitmen seseorang untuk sebuah konsep, kerangka, atau seperangkat nilai-nilai yang membuat hidup dimengerti, menawarkan untuk mencapai suatu tujuan dalam hidup, dan memberikan pemenuhan terhadap hidup. Kemudian definisi dari Langle, yakni sebuah pencapaian yang kompleks dari spirit manusia (potensial noetic) yang diperoleh melalui pergumulan atau pergulatan seseorang menghadapi tantangan dunia dengan keberadaannya (Sumanto, 2006). Dan yang terakhir Tasmara (2001) mengungkapkan bahwa makna hidup sebagai cara seseorang untuk mengisi kehidupannya dan memberikan gambaran menyeluruh yang menunjukkan arah dalam cara manusia berhubungan dengan dirinya sendiri, orang lain dan alam sekitar. 
         Dari beberapa definisi tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa makna hidup adalah sebuah nilai-nilai dan konsep tentang sesuatu hal yang ideal, berharga, dan penting bagi manusia dalam kehidupannya, nilai-nilai dan konsep tersebut sebagai wujud atas perjuangan spirit manusia dalam menjawab keberadaannya di dunia, kedalaman nilai-nilai dan konsep itu secara otomatis akan mengarahkan manusia kepada suatu titik yang dapat membuat manusia menjadi optimis dalam menjalani hidup sehingga kehidupan yang dirasakannya akan bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain maupun alam sekitar.
   
Sumber-Sumber Makna Hidup
Frankl (dalam Kimble dan Ellor, 2000) menjabarkan bahwa ada beberapa sumber-sumber di dalam kehidupan yang dapat membuat kehidupan itu sendiri menjadi bermakna dengan cara merealisasikan tiga nilai-nilai, yang antara lain:
1.   Melalui apa yang telah diberikan kepada hidup (dalam hal nilai-nilai kerja kreatif). Salah satu sumber makna hidup ini secara eksplisit menjelaskan bahwa makna hidup dapat ditemukan oleh manusia apabila ia mampu merealisasikan nilai-nilai kreatif bagi hidupnya. Berkontribusi dengan karya-karya yang ia ciptakan dalam pelbagai bentuk dan kegiatan, seperti pengetahuan, kerja, seni, dan sebagainya. Arti diberikan kepada kehidupan melalui tindakan yang menciptakan suatu hasil yang kelihatan (materi) atau suatu ide yang tidak kelihatan atau dengan melayani orang-orang lain yang merupakan suatu ungkapan individu (non-materi) (Schultz, 1991).
2.   Melalui sesuatu yang didapatkan dari dunia (dalam hal nilai-nilai pengalaman manusia). Manusia dapat memberikan makna kepada kehidupannya dengan cara merealisasikan nilai-nilai pengalamannya atau penghayatannya. Dalam hal ini menghayati dan meyakini suatu kebajikan, kebenaran, keindahan, dan cinta kasih. Cinta kasih dapat menjadikan pula seseorang menghayati perasaan berarti dalam hidupnya. Dengan mencintai dan merasa dicintai, seseorang akan merasakan kehidupannya penuh dengan pengalaman hidup yang membahagiakan (Bastaman, 2007).
3.   Melalui sikap yang diambil saat menghadapi takdir yang tidak mampu untuk diubah. Menerima dengan sabar, lapang dada, dan tabah segala takdir atau penderitaan yang tidak dapat diubah lagi. Dalam hal ini bukan lah takdir atau situasinya yang diubah sebab manusia tidak memiliki kemampuan untuk mengubah takdir, melainkan sikap manusia yang harus diubah dalam menghadapi situasi tersebut. Ia memiliki kebebasan untuk mengambil sikap apa yang pantas dan sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Selain tiga nilai yang telah dikemukakan oleh Viktor Frankl, ada satu nilai lain yang menurut Bastaman (2007) mampu membuat hidup menjadi bermakna, yaitu harapan. Harapan adalah keyakinan akan terjadinya hal-hal yang baik atau perubahan yang menguntungkan pada kemudian hari. Harapan (sekalipun belum tentu menjadi kenyataan) memberikan sebuah peluang dan solusi serta tujuan baru yang menjanjikan yang dapat menimbulkan semangat dan optimisme. Oleh karena harapan membawa angin optimisme kepada hidup, maka orang yang memiliki harapan akan selalu menunjukkan sikap positif terhadap masa depan, penuh percaya diri dan merasa optimis dapat meraih kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya, orang yang tak memiliki harapan selalu dilanda kecemasan, keputusasaan, dan apatisme.



Karakteristik Makna Hidup
Bastaman (2007) mengemukakan sifat khusus dari makna hidup yakni:
a)  Makna hidup bersifat unik, pribadi dan temporer, yang berarti apa yang dianggap berarti oleh seseorang belum tentu berarti pula bagi orang lain. Dalam hal ini makna hidup seseorang dan apa yang bermakna bagi dirinya bersifat khusus, berbeda, dan tak sama dengan makna hidup orang lain, serta berubah-ubah dari waktu ke waktu.
b)  Makna hidup bersifat spesifik dan nyata, dalam arti makna hidup benar-benar dapat ditemukan dalam pengalaman dan kehidupan sehari-hari, serta tidak selalu dikaitkan dengan hal-hal yang serba abstrak-filosofis, tujuan-tujuan idealistis, dan prestasi-prestasi akademis yang serba menakjubkan.
c)      Makna hidup bersifat sebagai pedoman dan arahan terhadap kegiatan-kegiatan manusia, sehingga makna hidup seakan-akan menantang manusia untuk memenuhinya. Ketika makna hidup ditemukan dan tujuan hidup ditentukan, manusia terpanggil untuk melaksanakan dan memenuhinya, serta kegiatan-kegiatan pun menjadi lebih terarah kepada pemenuhan itu.
  
Penderitaan dan Makna Hidup
Menurut Bastaman (1996) penderitaan merupakan perasan tak menyenangkan dan reaksi-reaksi yang ditimbulkannya sehubungan dengan kesulitan-kesulitan yang dialami seseorang. Lebih lanjut Bastaman (2007) menjelaskan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, baik keadaan yang menyenangkan maupun keadaan yang tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan seperti pada keadaan sakit, bersalah, kemiskinan, kenistaan, dan kematian. Pernyataan mengenai Makna dalam derita dan hikmah dibalik musibah, menunjukkan bahwa di dalam penderitaan sekalipun makna hidup mampu untuk ditemukan manusia.
Frankl  (dalam Bastaman, 1996) menyebutkan beberapa hal yang menimbulkan penderitaan sebagai the tragic triad of human existence, yakni tiga ragam penderitaan yang sering ditemukan dalam kehidupan manusia, antara lain sakit (pain), salah (guilt), dan maut (death).
a)   Sakit (pain) secara komprehensif dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan mental dan fisik yang kurang baik atau kegelisah mental dan fisik. Travelbee (dalam Bastaman, 1996) menjelaskan bahwa intensitas sakit berkisar dari mulai setengah gelisah atau penderitaan yang membosankan hingga penderitaan yang akut bahkan seringkali rasa sakit yang tak terperikan, dan dapat dirasakan secara umum atau lokal sebagai akibat dari korban kecelakaan, luka secara fisik atau luka secara mental, dan biasanya menimbulkan reaksi menghindari, melarikan diri, atau menghancurkan faktor penyebabnya.
b)   Salah (guilt) merupakan sejenis penderitaan yang berkaitan dengan perbuatan yang tidak sesuai dengan hati nurani (conscience). Hati nurani adalah unsur kepribadian yang menilai sejauh mana pemikiran, perasaan dan tindakan seseorang sesuai dengan tolak ukur tertentu.
c)   Maut (death) baik kematian sendiri maupun kematian orang lain, merupakan tragedi alami yang pasti terjadi dan setiap orang akan mengalaminya. Tetapi sikap orang terhadap kematian pada umumnya paradaksol dalam arti di satu pihak menyadari bahwa kematian merupakan kepastian, tetapi di lain pihak jarang sekali secara serius bersedia memikirkan dan mempersiapkannya, lebih-lebih menyangkut kematian sendiri.